Kamis, 20 Desember 2012

PENGETAHUAN TENTANG HARI KIAMAT (Oleh) Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

PENGETAHUAN TENTANG HARI KIAMAT


Pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh banyak ayat di dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Dia tidak menampakkannya kepada seorang Malaikat yang didekatkan tidak juga kepada seorang Nabi yang diutus[1]. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya Kiamat kecuali Allah Ta’ala.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering sekali membicarakan keadaan Kiamat dan kedahsyatannya, sehingga orang-orang waktu itu bertanya kepada beliau kapan terjadinya Kiamat. Beliau mengabarkan bahwa itu adalah masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, demikian pula ayat al-Qur-an menjelaskan bahwa pengetahuan tentang kapan terjadinya Kiamat adalah sesuatu yang dikhususkan Allah untuk diri-Nya.

Di antaranya adalah firman-Nya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]

Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam agar mengabarkan kepada manusia bahwa pengetahuan tentang terjadinya Kiamat hanya ada di sisi Allah semata, hanya Dia-lah yang mengetahui masalahnya dengan jelas dan kapan terjadinya, tidak seorang pun dari penduduk langit dan bumi mengetahuinya.

Sebagaimana difirmankan oleh Allah:

يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]

Juga sebagaimana difirmankan oleh Allah:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا إِلَىٰ رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا

“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).” [An-Naazi’aat: 42-44]

Maka puncak dari pengetahuan tentang hari Kiamat kembali kepada Allah semata.

Karena itulah, ketika Jibril Alaihissallam bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hari Kiamat -sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril yang panjang- Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.

“Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.”[2]

Jibril tidak mengetahui kapan hari Kiamat itu terjadi, begitu pun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Demikian pula Nabi ‘Isa Alaihissallam, beliau tidak mengetahui kapan Kiamat itu terjadi, padahal beliau akan turun ketika Kiamat sudah dekat. Bahkan (turunnya Nabi ‘Isa) termasuk tanda-tanda besar Kiamat, sebagaimana akan dijelaskan.

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian pula Ibnu Majah dan al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَقِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَـى وَعِيْسَى، قَالَ: فَتَذَاكَرُوا أَمْرَ السَّاعَةِ، فَرَدُّوا أَمْرَهُمْ إِلَى إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى عِيْسَـى فَقَالَ: أَمَّا وَجْبَتُهَا؛ فَلاَ يَعْلَمُهَا أَحَدٌ إِلاَّ اللهُ ذَلِكَ، وَفِيمَـا عَهِدَ إِلَيَّ رَبِّـي عَزَوَجَلَّ أَنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ، قَالَ وَمَعِي قَضِيبَانِ، فَإِذَا رَآنِـي، ذَابَ كَمَا يَذُوبُ الرَّصَاصُ. قَالَ: فَيُهْلِكُهُ اللهُ.

“Pada malam aku di-Isra'kan ke langit, aku bertemu dengan Ibrahim, Musa, dan ‘Isa.” Beliau bersabda, “Lalu mereka saling menyebutkan tentang perkara Kiamat, selanjutnya mereka mengembalikan perkara mereka kepada Ibrahim, maka beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada Musa.’ Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada ‘Isa.’ Akhirnya beliau berkata, ‘Adapun kapan terjadinya, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Di antara wahyu yang diberikan oleh Rabb-ku Azza wa Jalla kepadaku, ‘Sesungguhnya Dajjal akan keluar.’ Beliau berkata, ‘Dan aku membawa dua pedang. Jika dia melihatku, maka dia akan meleleh sebagaimana timah yang meleleh.’ Beliau berkata, ‘Lalu Allah membinasakannya.’” [3]

Mereka adalah para Ulul Azmi dari kalangan para Rasul, dan mereka tidak mengetahui kapan terjadinya Kiamat.

Dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda sebulan sebelum beliau wafat:

تَسْأَلُونِي عَنِ السَّاعَةِ؟ وَإِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللهِ وَأُقْسِمُ بِاللهِ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ.

‘Kalian bertanya kepadaku tentang hari Kiamat? Sedangkan ilmunya hanyalah ada di sisi Allah, dan aku bersumpah dengan Nama Allah, tidak ada satu makhluk hidup pun yang lahir di atas bumi ini yang berumur seratus tahun.’” [4][5]

Hadits ini menafikan kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahuinya setelah pertanyaan Jibril kepadanya.

Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan, “Nabi yang ummi ini adalah pemimpin para Rasul, dan penutup mereka -shalawat dan salam dari Allah semoga dilimpahkan kepadanya- Nabi pembawa rahmat, penyeru taubat, pemimpin perang, pemberi keputusan, yang menghormati tamu, penghimpun, di mana semua manusia berkumpul padanya (untuk memperoleh syafa’at), di mana beliau pun bersabda dalam hadits yang shahih dari hadits Anas dan Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhuma:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ.

‘Diutusnya aku dan hari Kiamat bagaikan dua (jari) ini.’ [6]

Beliau mendekatkan jari telunjuk dan yang ada setelahnya (jari tengah). Walaupun demikian keadaan beliau, Allah telah memerintahkannya agar mengembalikan ilmu tentang Kiamat kepada-Nya jika ditanya tentangnya, Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“... Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 187][7]

Siapa saja yang beranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, maka dia adalah orang bodoh, karena ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi yang telah disebutkan menolak anggapan tersebut.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan orang yang mengaku-aku sebagai ahli ilmu pada zaman kita ini telah menampakkan kebohongan. Dia berpura-pura kenyang (dengan ilmu) padahal ilmu itu tidak diberikan kepadanya bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat.” (Sangat pantas jika) dikatakan kepadanya, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa salla pernah bersabda di dalam hadits Jibril:

مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.

‘Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.’

Lalu mereka menyelewengkan makna yang sebenarnya, seraya berkata, “Maknanya adalah, ‘Aku dan engkau mengetahuinya.’”

Ini merupakan kebodohan yang paling besar, dan penyelewengan makna yang paling buruk. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih mengenal Allah, (maka tidak pantas) dia mengatakan kepada seseorang yang dianggapnya sebagai seorang badui, “Aku dan engkau mengetahui kapan Kiamat itu terjadi,” hanya saja orang bodoh itu berkata, “Sebelumnya beliau tahu bahwa dia adalah Jibril,” padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jujur dalam perkataannya, beliau bersabda:

مَا جَائَنِيْ فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.

“Tidaklah dia datang dengan satu rupa kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.” [8]

Dalam lafazh yang lain:

مَا شُبِّهَ عَلَيَّ غَيْرَ هَذِهِ الْمَرَّةِ.

“Dia (Jibril) tidak pernah disamarkan kepadaku selain pada kesempatan ini.”

Sementara dalam lafazh yang lain:

رُدُّوْا عَلَيَّ اْلأَعْرَابِيَّ...

“Bawa kepadaku orang badui itu...”

Lalu mereka pergi untuk mencarinya, akan tetapi mereka tidak mendapatkannya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia adalah Jibril setelah beberapa saat, sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar Radhiyallahu anhuma, “Lalu aku terdiam dalam waktu yang lama, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai ‘Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?’” [9]

Orang yang menyelewengkan makna tersebut berkata, “Beliau mengetahui bahwa dia adalah Jibril sejak dia bertanya kepada beliau, sementara beliau tidak memberitakan Sahabat akan hal itu kecuali setelah selang waktu berlalu!”

Kemudian ungkapan dalam hadits: (مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ) mencakup setiap orang yang bertanya dan ditanya, maka setiap orang yang bertanya dan ditanya tentang Kiamat ini keadaannya adalah seperti itu (sama-sama tidak tahu). [10]

Demikian pula, tidak ada gunanya menyebutkan tanda-tanda dan mengabarkannya kepada penanya yang sudah mengetahuinya, lebih-lebih ketika ia tidak bertanya tentang tanda-tandanya.

Dan lebih aneh lagi dari pendapat ini adalah apa yang diungkapkan oleh as-Suyuthi dalam al-Haawi setelah mengungkapkan jawaban atas pertanyaan tentang hadits yang masyhur di kalangan manusia, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan berdiam di dalam kuburnya selama seribu tahun?” Dia (as-Suyuthi) berkata, “Saya jawab bahwa hal ini adalah bathil tidak ada landasannya sama sekali.”

Lalu diungkapkan bahwa beliau menulis sebuah buku dalam masalah ini dengan judul al-Kasyfu ‘an Mujaawazati Haadzihil Ummah al-Alf, di dalamnya beliau berkata:

Pertama, hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya masa umat ini lebih dari seribu tahun dan tambahannya tidak mencapai lima ratus tahun; karena diriwayatkan dari berbagai jalan bahwa umur dunia adalah tujuh ribu tahun, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus di akhir tahun keenam ribuan.[11]

Kemudian beliau menyebutkan beberapa perhitungan yang kesimpulannya sama sekali tidak mungkin jika masanya itu seribu lima ratus tahun. Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan landasan oleh beliau:

Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir dari adh-Dhahhak bin Zummal az-Zuhani, dia berkata, “Aku bermimpi, kemudian aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,” selanjutnya beliau menuturkan hadits yang di dalamnya diungkapkan:

إِذَا أَنَا بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلَى مِنْبَرٍ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ، وَأَنْتَ فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً. فَقَالَ: أَمَا الْمِنْبَرُ الَّذِيْ رَأَيْتَ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ وَأَنَا فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً، فَالدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ، وَأَنَا فِي آخِرِهَا أَلْفًا.

“Tiba-tiba saja aku di (dekat)mu wahai Rasulullah, di atas mimbar yang memiliki tujuh tangga, dan engkau berada di tangga yang paling tinggi,” kemudian beliau bersabda, “Adapun mimbar yang engkau lihat memiliki tujuh tangga dan aku berada di tangga paling tinggi, itu berarti bahwa (umur) dunia tujuh ribu tahun, dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” [12]

Beliau (as-Suyuthi) mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalaa-il, dan as-Suhail mengatakan bahwa hadits ini dha’if sanadnya, akan tetapi hadits tersebut diriwayatkan secara mauquf kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma melalui jalan-jalan yang shahih, dan ath-Thabrani [13] menshahihkan landasan ini dan menguatkannya dengan beberapa atsar.

Kemudian as-Suyuthi menjelaskan bahwa makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “... dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” Maksudnya adalah kebanyakan umat Islam berada pada tahun ketujuh ribu, agar sesuai dengan riwayat se-lanjutnya bahwa beliau diutus di akhir tahun keenam ribu. Seandainya beliau diutus di awal tahun ketujuh ribu, niscaya tanda-tanda Kiamat besar seperti Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa, dan terbitnya matahari dari barat telah di jumpai lebih dari seratus tahun sebelum masa kita ini, karena Kiamat terjadi tepat pada tahun ketujuh ribu, sementara tidak terjadi apa pun pada saat itu, maka hal ini menunjukkan bahwa sisa dari tahun ketujuh ribu lebih dari tiga ratus tahun. [14]

Ini adalah ringkasan perkataan as-Suyuthi rahimahullah, dan (perkataannya ini) berbenturan dengan ungkapan yang jelas di dalam al-Qur-an juga hadits-hadits yang shahih; bahwasanya umur dunia tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Allah Ta’ala. Karena jika kita mengetahui umur dunia, niscaya kita akan tahu kapan terjadinya Kiamat. Anda telah mengetahui sebelumnya dari ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabawi bahwa Kiamat tidak diketahui kapan terjadinya kecuali oleh Allah Ta’ala.

Demikian pula, bahwa kenyataan yang ada menolak hal itu (pendapat as-Suyuthi). Karena kita berada di awal abad kelima belas Hijriyyah, sementara Dajjal belum keluar, dan Nabi ‘Isa belum turun. As-Suyuthi menyatakan bahwa ada riwayat yang menyebutkan Dajjal keluar di awal seratus tahunan dan ‘Isa Alaihissallam turun, lalu membunuhnya. Kemudian beliau berdiam di bumi selama empat puluh tahun, manusia berdiam di bumi setelah matahari terbit dari barat selama seratus dua puluh tahun, dan jarak di antara dua tiupan (Sangkakala) adalah empat puluh tahun, ini semua mesti terjadi dalam masa dua ratus tahun [15]. Lalu berdasarkan perkataannya, seandainya Dajjal keluar sekarang maka mesti dua ratus tahun, sehingga terjadinya Kiamat setelah tahun seribu enam ratus.

Dengan ini jelaslah kebathilah setiap hadits yang membatasi umur dunia.

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitab al-Manaarul Muniif beberapa hal yang diketahui dengannya kepalsuan sebuah hadits. Beliau berkata, “Di antaranya adalah hadits yang menyelisihi nash al-Qur-an yang jelas, seperti hadits batasan umur dunia, yang mengatakan bahwa umur dunia hanya tujuh ribu tahun, sementara kita berada di masa ketujuh ribu tahun. Ini merupakan kebohongan paling jelas, karena seandainya hadits ini shahih, niscaya setiap orang tahu bahwa Kiamat akan terjadi dua ratus lima puluh satu tahun dari waktu kita sekarang ini.” [16]

Ibnul Qayyim hidup di abad kedelapan Hijriyyah, maka dia mengatakan perkataan seperti ini, dan telah berlalu dari perkataannya lebih dari enam ratus lima puluh dua tahun, akan tetapi dunia belum juga berakhir.

Ibnu Katsir berkata, “Adapun yang terdapat dalam kitab-kitab Israiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari bani Israil/Yahudi-ed.) dan Ahlul Kitab berupa pembatasan masa yang telah lalu dengan ribuan dan ratusan tahun, maka lebih dari satu orang ulama terang-terangan menyalahkan mereka di dalam hal itu, dan memperlakukan mereka dengan keras sementara mereka pantas untuk mendapatkannya, dan juga telah terdapat sebuah hadits:

اَلدُّنْيَا جُمْعَةٌ مِنْ جُمَعِ اْلآخِرَةِ.

“Dunia itu adalah satu pekan dari beberapa pekan di akhirat.”

Hadits ini sanadnya tidak shahih, demikian pula tidak shahih sanad setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya hari Kiamat secara tepat.[17]

Sebagaimana tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan muncul-nya tanda-tanda Kiamat. Riwayat yang menjelaskan bahwa pada tahun ini akan seperti ini, dan pada tahun ini akan terjadi hal ini, maka hal itu tidak benar, karena penanggalan belum dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ‘Umar bin al-Khaththablah yang menetapkannya sebagai sebuah ijtihad dari beliau, dan awal perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah.

Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang fitnah dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, dengan penentuan waktunya pada tahun tertentu membutuhkan cara yang benar (dalam menentukan keshahihan riwayat tersebut) yang bisa mematahkan segala ar-gumentasi, hal itu sebagaimana (menentukan) waktu terjadinya hari Kiamat, tidak seorang pun mengetahui pada tahun manakah ia akan terjadi, tidak juga pada bulan apakah? (Yang diketahui) bahwa ia akan terjadi pada hari Jum’at di akhir waktunya. Waktu di mana Allah menciptakan Adam Alaihissallam, akan tetapi Jum’at yang mana? Tidak seorang pun mengetahui tepatnya hari tersebut kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, demikian pula masalah tanda-tanda Kiamat, tidak seorang pun mengetahui waktunya yang pasti, wallahu a’lam.[18]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Al-Barzanji berpendapat bahwasanya Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, akan tetapi dilarang mengabarkannya. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal.
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya Shallallahu 'laihi wa sallam ‘anil Iimaan wal Islaam wal Ihsaan wa ‘Ilmis Saa’ah wa Bayaanin Nabiyyi Shallallahu 'laihi wa sallam lahu (I/114, al-Fat-h).
[3]. Musnad Ahmad (V/189, no. 3556), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Sunan Ibni Majah (II/1365), tahqiq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi, al-Bushairi berkata dalam kitab az-Zawaa-id, “Ini adalah sanad yang shahih, rijalnya tsiqah.”
Dan Mustadrak al-Hakim (IV/488-489), beliau berkata, “Ini adalah hadits yang isnadnya shahih, akan tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Akan tetapi Syaikh al-Albani melemahkannya dalam kitab Dha’iif al-Jaami’ish Shaghiir (V/20-21, no. 4712).
[4]. Maksudnya adalah tidak ada makhluk hidup yang hidup pada malam itu hidup selama seratus tahun, hal ini tidak menafikan adanya makhluk hidup lahir setelah malam itu yang mengalami hidup selama seratus tahun sebagaimana diungkapkan oleh an-Nawawi.-pent.
[5]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Radhiyallahu anhum, bab Bayaan Ma’na Qaulihi Shallallahu 'laihi wa sallam ‘alaa Ra'-si Mi-atis Sanah la Yabqa Nafsun Manfuusah (XVI/90-91, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'laihi wa sallam Bu’itstu Ana was Saa’ah ka Haataini, (XI/347, al-Fat-h).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (III/526).
[8]. Musnad Ahmad (I/314-315, no. 374), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.” Sementara lafazh Muslim adalah:
مَا أَتَانِي فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa pun kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.”
[9]. Shahiih Muslim kitab al-Iimaan, bab Imaaraatus Saa’ah (I/159, Syarah an-Nawawi).
Ibnu Hajar t berkata, “Adapun yang disebutkan di dalam riwayat an-Nasa-i dari jalan Abu Farwah di akhir hadits:
وَإِنَّهُ لَجِبْرِيلُ نَزَلَ فِي صُورَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.
‘Ia adalah Jibril yang turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi.’
Sesungguhnya ungkapan “turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi” adalah Wahm, karena Dihyah adalah orang yang dikenal di kalangan mereka, sementara ‘Umar berkata, “Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya.” Dan Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah meriwayatkan dalam kitabnya al-Iimaan dengan bentuk (jalan) yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i, di akhir ungkapannya beliau hanya bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan masalah agama kepada kalian.” Inilah riwayat al-Mahfuuzhah (yang terjaga) karena kesesuaiannya dengan riwayat yang lainnya, (Fat-hul Baari I/125).
[10]. Al-Manaarul Muniif (hal. 81-82), tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat ta’liq Syaikh terhadap ungkapan Ibnul Qayyim, lihat pula Majmu’ al-Fataawaa', karya Ibnu Taimiyyah (IV/341-342).
[11]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/86), karya as-Suyuthi, cet. II (1395 H), Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
[12]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/88).
[13]. Lihat kitab Taariikhul Umam wal Muluuk, karya Abu Ja’far ath-Thabari (I/ 5-10) cet. Darul Fikr, Beirut.
[14]. Al-Haawi (II/88).
[15]. Al-Haawi (II/87).
[16]. Al-Manaarul Muniif (hal. 80) tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat kitab Majmu’ al-Fataawaa (IV/342), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/15) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[18]. At-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa’ wa Umuuril Aakhirah (hal. 628), karya Syamsuddin Abi ‘Abdillah Muhammad Ahmad al-Qurthubi, disebarluaskan oleh al-Maktabah as-Salafiyyah, al-Madinah al-Munawwarah.

Rabu, 19 Desember 2012

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM ASPEK HUKUM INDONESIA


Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya.

Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya :

1. Wanprestasi.

2. Perbuatan melawan hukum

3. Kerugian salah satu pihak

4. Ada pihak yang tidak puas atas tanggapan yang menyebabkan kerugian. Dilihat dari prosesnya, penyelesaian sengketa dapat berupa :

1. Litigasi

2. Non Litigasi

Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Adapun sisi positif menyelesaikan sengketa di jalur pengadilan adalah :

1. Hukum yang berlaku adalah sistem hukum Indonesia

2. Berlangsung di wilayah Republik Indonesia

Sedangkan sisi negatifnya adalah :

1. Partner asing belum memberikan kepercayaan kepada efektivitas hukum di Indonesia

2. Proses peradilan memakan waktu yang lama. Karena terbukanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, melalui banding, kasasi dan peninjauan kembali.

3. Proses dilakukan terbuka untuk umum

LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DI INDONESIA

1. Pengadilan Umum

2. Pengadilan Niaga

3. Arbitrase

4. Penyelesaian Sengketa Alternatif, melalui mekanisme :

a. Negosiasi

b. Mediasi

c. Konsiliasi

d. Konsultasi

e. Penilaian Ahli

PENGADILAN UMUM

Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai karakteristik :

1. Prosesnya sangat formal

2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)

3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan

4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)

5. Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)

6. Persidangan bersifat terbuka

PENGADILAN NIAGA

Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Prosesnya sangat formal

2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara (hakim)

3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan

4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)

5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)

6. Proses persidangan bersifat terbuka

7. Waktu singkat.

ARBITRASE

Pengertian

Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1 ” arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Objek Arbitrase

Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Di dalam Pasal 4 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase adalah final (final and binding), artinya tidak dapat dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi, serta putusannya berkekuatan hukum tetap bagi para pihak.

Hal-hal Prinsip dalam Arbitrase

1. Penyelesaian sengketa dilakukan diluar peradilan

2. Keinginan untuk menyelesaikan sengketa diluar peradilan harus berdasarkan atas kesepakatan tertulis yang dibuat oleh pihak yang bersengketa.

3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa dalam bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersangkutan.

4. Para pihak menunjuk arbiter/wasit di luar pejabat peradilan seperti hakim, jaksa, panitera tidak dapat diangkat sebagai arbiter.

5. Pemeriksaan sengketa dilaksanakan secara tertutup. Pihak yang bersengketa mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing.

6. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional.

7. Arbiter/majelis arbiter mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.

8. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari sejak pemeriksaan ditutup Putusan arbitrase bersifat final and binding artinya final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat.

9. Putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter kepada panitera pengadilan Negeri, dan dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Klausula Arbitrase

Dalam Pasal 1 angka 3 UU nomor 30/1999 ditegaskan bahwa “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian sutau perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Jenis Arbitrase

1. Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Volunteer)

Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.

2. Arbitrase Institusional

Merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, contohnya di Indonesia yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) sedangkan lembaga arbitrase internasional misalnya The International Center of Settlement of investment Disputes (ICSID).

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (Alternative Dispute Resolution)

Dalam Pasal 1 angka 10 UU Nomor 30/1999 dirumuskan bahwa “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Negosiasi

UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai negosiasi. Pada prinsipnya pengertian negosiasi adalah suatu proses dalam mana dua pihak yang saling bertentangan mencapai suatu kesepakatan umum melalui kompromi dan saling memberikan kelonggaran. Melalui Negosiasi para pihak yang bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang saling menguntungkan (win-win solution) dengan memberikan atau melepaskan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik.

Didalam mekanisme negosiasi penyelesaian sengketa harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan orang ketiga sebagai penengah, untuk menyelesaikan sengketa.

Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal dicapainya kesepakatan.

Mediasi

UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai mediasi. Menurut Black’s Law Dictionary mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak mempunyai kesewenangan untuk menetapkan keputusan bagi para pihak. Mediator bersifat netral dan tidak memihak yang tugasnya membantu para pihak yang bersengketa untuk mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan. Dalam fungsinya mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan.

Konsiliasi

UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai konsiliasi. Menurut John Wade dari bond University Dispute Resolution Center, Australia “konsiliasi adalah suatu proses dalam mana para pihak dalam suatu konflik, dengan bantuan seorang pihak ketiga netral (konsiliator), mengindentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan, mempertimbangkan pilihan penyelesaian).”

Konsiliator dapat menyarankan syarat-syarat penyelesaian dan mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan. Berbeda dengan negosiasi dan mediasi, dalam proses konsiliasi konsiliator mempunyai peran luas. Ia dapat memberikan saran berkaitan dengan materi sengketa, maupun terhadap hasil perundingan. Dalam menjalankan peran ini konsiliator dituntut untuk berperan aktif.

Penilaian Ahli

UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai penilaian ahli, menurut Hillary Astor dalam bukunya Dispute Resolution in Australia “penilaian ahli adalah suatu proses yanh menghasilkan suatu pendapat objektif, independen dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang dipersengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.”

Di dalam melakkukan proses ini dibutuhkan persetujuan dari para pihak untuk memberikan dan mempresentasikan fakta dan pendapat dari para pihak kepada ahli. Ahli tersebut kemudian akan melakukan penyelidikan dan pencarian fakta guna mendapatkan informasi lebih lanjut dari para pihak dan akan membuat keputusan sebagai ahli bukan arbiter.

Senin, 17 Desember 2012

SURGA DAN NERAKA (Tingkatan)


Inilah 7 Tingkatan surga dan Neraka yang Menakjubkan


Kemanakah jalan yang ingin kita tempuh: 
7 tingkatan Neraka
1.Neraka jahanam:
Adalah tingkat yang atas sekali. yaitu tempat mukminin,mukminat,muslimin dan muslimat yang melakukan dosa kecil maupun besar
“….Demi Neraka jahanam di datangkan untuk semua orang walaupun hanya lewat / mampir dalam 1 hari”
Firman Allah SWT:
“Bahwasanya orang-orang kafir dan orang aniaya itu tidak akan diampuniAllah, dan tidak pula ditunjuki jalan, melainkan jalan ke Neraka Jahannam. Mereka kekal dalam neraka itu selama-lamanya. Yang demikian itu mudah sekali bagi Allah”(Q.S. An-Nisa: 169)
2.Neraka ladhoh: 
Tingkat kedua yaitu tempat orang yang mendustakan agama
Firman Allah SWT :
“Sebab itu Kami beri kabar pertakut kamu dengan Neraka Luza (neraka yang menyala-nyala). Tiada yang masuk kedalamnya selain orang yang celaka. Yaitu orang yang mendustakan agama dan berpaling dari pada-Nya”(Q.S. Al-Lail : 14-16)

3.Neraka Khutamah: 

Inilah neraka tingkat ketiga. yaitu tempat orang yang hanya lalai memikirkan dunianya tanpa mengerjakan kebutuhan/kepentingan untuk ibadahnya. Harta yang membuat orang durhaka.
Firman Allah SWT :
“Tahukah engkau apakah Hathamah itu? Yaitu api neraka yang menyala-nyala yang membakar hati manusia. Api yang ditutupkan kepada mereka. Sedangkan mereka itu diikatkan pada tiang yang panjang” (Q.S. Al-Humazah : 4-9)

4.Neraka sair: 

Tingkat ke-empat yaitu tempat orang yang tidak mau mengeluarkan zakat atau bagi mereka yang mengeluarkan tapi tidak pada porsinya dan Dalam neraka ini ditempatkan orang yang memakan harta anak yatim. Didalam neraka ini mereka buta, pekak, dan kulitnya tebal seperti Jabal uhud.
Firman Allah SWT :
“Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan aniaya, sesungguhnya mereka memakan api sepenuh perutnya. Dan nanti mereka akan dimasukkan kedalam neraka Sair(Q.S. An-Nisa: 10)

5.Neraka Sahkhor: 

Yaitu tempat orang yang tidak melaksanakan salat, tempat orang yang berbohong tentang keberadaan Allah, menyembah selain Allah atau menyembah zat yang keluar dari sifat Allah dan Al quran,.
Didalam kitab safina : “….orang yang tidak melaksanakan solat dihukumi sebagai hewan yang tidak ada harganya/ tidak ada manfaatnya “
Didalam surga mereka saling bertanya dari hal orang berdosa. Apakah sebabnya kamu masuk neraka Saqru? Karena kami tidak sholat, kami tidak memberi makan orang miskin, kami percaya pada yang bukan-bukan. Kami mendustakan hari kiamat.(Q.S. Al-Mudatsir : 40-46)
6.Neraka jahim: 
Tingkat ke-enam yaitu ditempatkan orang kafir, orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang Islam yang berdosa. Mereka yang berbuat apa yang dilarang Tuhan. Umpamanya berzina, meminum khamar, dan membunuh tanpa hak.
Firman Allah SWT :
”Dan orang-orang yang kafir dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, mereka itulah penghuni neraka Jahim.(Q.S. Al-Maidah : 86)
7.Neraka Hawiyah:
Inilah neraka yang berada dibawah sekali.neraka yang paling keras, yaitu tempat orang yang ketika matinya tidak membawa iman dan islam, apinya hitam dan sudah dibakar 1000tahun lamanya, Alas atau kerak-kerak neraka. Disinilah tempat orang-orang yang berdoa berat. Mereka yang menjadi musuh nabi-nabi, seperti Firaun.
Firman Allah SWT :
“Dan barang siapa yang ringan timbangannya, maka dia dilemparkan ke neraka hawiyah. Tahukah engkau apakah Neraka Hawiyah itu? Yaitu api yang sangat panas”.(Q.S. Al-Qoriah : 8-11)
sahabat Abu Hurairoh “terdengar suara yang mengelegar lalu bertanyalah ke rosulullah dan rosulullah menjawab itu adalah suara batu yang jatuh dari neraka jahanam ke “teleng” sekitar dada jatuhnya 1000 tahun”.
Bersabda Nabi SAW : Adapun Neraka itu gelap gulita, tidak mempunyai penerangan kecuali api yang menyala-nyala. Neraka itu mempunyai tujuh pintu dan tiap-tiap pintu itu mempunyai tujuh puluh ribu bukit, tiap-tiap bukit mempunyai tujuh puluh ribu cabangnya, tiap-tiap cabang itu terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil. Dan tiap-tiap bagian yang lebih kecil itu terdiri atas tujuh puluh ribu dusunnya. Dan tiap-tiap dusun itu tujuh puluh ribu rumahnya dan api yang menyala-nyala. Tiap-tiap rumah itu tujuh puluh ribu ular dan kalajengking
7 tingkatan Surga
1.Darus Salam: 
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Rabbnya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal sholeh yang selalu mereka kerjakan.” (QS. 6:127)
Surga adalah Darussalam (negri keselamatan) dari segala musibah, kecelakaan, dan segala hal yang tidak disukai, dan dia merupakan negri Allah subhanahu wata’ala, diambil dari nama Allah “as-Salam”. Allah subhanahu wata’ala pun mengucapkan salam atas mereka,
“Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan), “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang.” (QS. 36:57-58)

2.Jannatu ‘adn: 

Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, (Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang sholeh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. 13:23-24)
3.Jannatul Khuld: 
Karena penduduknya kekal di dalamnya dan tidak akan berpindah ke alam (tempat) lain.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
”Katakanlah, “Apakah (azab) yang demikian itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang- orang yang bertaqwa?” Surga itu menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka.” (QS. Al-Furqan:15)
4.Darul Muqamah: 
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan mereka berkata:”Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.Sesungguhnya Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu”. (QS. 35:34-35)
5.Jannatul Ma’wa: 
Adalah tempat menetap sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat an-Najm di atas. Disebut demikian karena surga merupakan tempat menetapnya orang-orang mukmin
6.Jannatun Na’im: 
7.Al Muqamul Amin:

Jumat, 14 Desember 2012

Delik Penganiayaan dan Pembunuhan


A.   Pengertian Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
  1. 1.      Pengertian Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Sebelum membahas mengenai pengertian penganiayaan, penyusun terlebih dahulu akan mengemukakan apa yang dimaksud dengan delik. Dalam kamus hukum delik diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.[1] Dalam hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang juga menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Dan secara umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit. Prof. Simon mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya[2]. Dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagi perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Utrecht memandang rumusan yang dikemukakan oleh Simon itu merupakan rumusan yang lengkap. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur strafbaar feitmeliputi:
  1. suatu perbuatan
  2. perbuatan itu diarang dan diancam dengan hukuman
  3. perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan[3]
Oleh karena KUHP bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah yang digunakan pun sama yaitu strafbaar feit. Namun dalam menterjemahkan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan. Sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah perbuatan pidana meski tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit. Sedangkan Utrecht menyalin istiah strafbaar feitmenjadi peristiwa pidana, di mana beliau menterjemahkan secara harfiah menjadi peristiwa pidana.[4] Meskipun terdapat banyak perbedaan pengistilahan, namun yang jelas semua bersumber pada strafbaar feit. Dan mengenai penggunaan istilah tersebut A.Z.Abidin sependapat bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang banyak digunakan yaitu delik.[5]
Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan”, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : “perlakuan yang sewenang-wenang…”[6].
Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.
Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut:
Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan …[7]
Kemudian ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.[8]
Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah :
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.[9]
  1. Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan (hal, dsb) membunuh.[10] Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.[11]
Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang.[12]
B.  Klasifikasi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
  1. 1.      Klasifikasi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Penganiayaan yang diatur KUHP terdiri dari :
  1. Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :
    1. Penganiayaan biasa
    2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
    3. Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati
    4. Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP
      1. Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan rincian sebagai berikut :
        1. Mengakibatkan luka berat
        2. Mengakibatkan orangnya mati
        3. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
          1. Mengakibatkan luka berat
          2. Mengakibatkan orangnya mati
          3. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
            1. Penganiayaan berat dan berencana
            2. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya mati.[13]
Selain daripada itu, diatur pula pada Bab XX (penganiayaan) oleh Pasal 358 KUHP, orang-orang yang turut pada perkelahian/penyerbuan/penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170 KUHP sebab perkelahian pada umumnya adalah  penggunaan kekerasan di muka umum.
  1. a.      Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP
Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut :
(1)   Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
(2)   Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanyalimatahun.
(3)   Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4)   Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(5)   Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum. [14]
Yang termasuk Pasal 351 ayat (1), bukan penganiayaan ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang.
Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan Pasal 352 KUHP, sehingga dalam penerapannya timbul kerumitan, terutama karena pelanggaran terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak pidana ringan), yang berdasarkan KUHAP (Pasal 205(1)), langsung diajukan penyidik ke Pengadilan Negeri, dengan demikian tidak melibatkan Penuntut Umum.[15]
Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga) jenis penganiayaan biasa, yaitu :
  1. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang,
  2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat,
  3. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.
Terhadap penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit atau rumit, tetapi pada prakteknya kadang-kadang sulit membedakan dengan Pasal 351 ayat (2), misalnya :
A dianiaya oleh B yang mengakibatkan luka berat, tetapi karena dalam waktu yang tidak begitu lama, ada yang mengangkut ke rumah sakit sehingga dapat diselamatkan jiwanya, dengan,
N dianiaya oleh M, yang mengakibatkan luka berat, tetapi karena tidak ada yang menolong, ia kehabisan darah, lalu meninggal.
Mengenai pengertian “luka berat” Pasal 90 KUHP merumuskan artinya. “Luka berat” pada rumusan asli disebut “zwaar lichamelijk letsel” yang diterjemahkan dengan “luka badan berat” yang selalu disingkat dengan luka berat. Sebagian pakar menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada luka karena pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk menyatakan ukuran.[16]
Pada Pasal 90 KUHP “luka berat” diartikan sebagai berikut ;
Luka berat berarti:
1)     jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan   sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2)     tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
3)     kehilangan salah satu pancaindra;
4)     mendapat cacat berat (verminking);
5)     menderita sakit lumpuh;
6)     terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7)     gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.[17]
  1. b.     Penganiayaan ringan
Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1)   Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2)   Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.[18] 

  1. c.     Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu
Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
1        Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
2        Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
3        Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[19]
Unsur “dengan rencana terlebih dahulu” menurut M.v.T.pembentukan Pasal 340 diutarakan sebagai berikut :
Diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berfikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan , sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya. [20]
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan arti “direncanakan lebih dahulu” sebagai: “Bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”[21]
Sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 717 K/Pid/1984 tanggal 20 September 1985 mengutarakan pendapat, antara lain sebagai berikut:
Tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat perencanaaan itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta alat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan itu.[22]
  1. d.     Penganiayaan Berat
Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.[23]
  1. e.     Penganiayaan Berat Dan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP yang berbunyi ;
(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya limabelas tahun.[24]
  1. C.    Turut Perkelahian/Penyerbuan
Hal ini diatur oleh Pasal 358 KUHP yang bunyinya sebagai berikut ;
Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain dari tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang dilakukannya, ia dihukum:
1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat luka berat;
2e.  dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun jika penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya orang.[25]
Rumusan Pasal 358 KUHP tersebut memuat 2 (dua) akibat yakni, luka berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat tersebut maka perbuatan itu, tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 358 KUHP.
Selain itu, perlu diamati rumusan “….selain daripada tanggungannya masing-masing bagi perbuatannya”, rumusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 358 KUHP tersebut, semata-mata diperlakukan karena keikutsertaan saja, sedang jika ia melakukan perbuatan maka hal tersebut tetap dipertanggungjawabkan padanya. Misalnya: A, B, C, dan D melakukan penyerangan terhadap R dan P di mana D hanya ikut saja, tanpa berbuat sesuatu. Dalam hal ini D dapat dipersalahkan melanggar Pasal 358 KUHP.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Pasal 358 KUHP adalah :
  1. Si peserta dengan sengaja ikut dalam penyerangan/perkelahian;
  2. Penyerangan/perkelahian, dilakukan lebih dari 2 (dua) orang;
  3. Mengakibatkan luka parah atau mati.[26]
  4. 2.      Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.
Kejahatan terhadap nyawa orang lain terbagi atas beberapa jenis, yaitu :
  1. a.      Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.[27]
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah : “barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun”.[28] Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. [29]
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
  1. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja
  2. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.[30]
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu : “menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.[31]
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun  pembunuhan itu dilakukan  terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.[32]
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung jawabkan.[33]
  1. b.     Pembunuhan Dengan Pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[34]
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan”.
Kata “diikuti” dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.
Misalnya :
A hendak membunuh B; tetapi karena B dikawal oleh P maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian membunuh B.
Kata “disertai” dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.
Misalnya :
C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh penjaganya.
Kata “didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan.
Misalnya :
D melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan barang yang dirampok tersebut, maka D menembak polisi yang mengejarnya.[35]
Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut :
  1. Unsur subyektif : 1) dengan sengaja
2) dengan maksud
  1. Unsur obyektif : 1)  menghilangkan nyawa orang lain
2)  diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana   lain
3) untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang akan, sedang atau telah dilakukan
4)     untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan
5)     untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan tindak pidana.[36]
Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal 339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaran-pelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).[37]
Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan hukuman.
  1. c.      Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.[38]
Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T. pembentukan Pasal 340 diutarakan, antara lain :
“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.[39]
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu” antara lain sebagai : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”[40]
Sedangkan Chidir Ali, menyebutkan:
Yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu, adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang dengan tenang, untuk memikirkan dengan tenang. Selanjutnya juga bersalah melakukan perbuatannya dengan hati tenang.[41]
Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana adalah sebagai berikut :
  1. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu
  2. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.[42]
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
  1. d.     Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.[43]
Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang ibu dengan sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.[44]
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan  tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338 KUHP.
  1. e.      Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[45]
Pasal 342 KUHP  dengan Pasal 341 KUHP  bedanya adalah bahwa Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya.
  1. f.        Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.[46]
Pasal 344 ini membicarakan mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena belum memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal 338 (pembunuhan biasa).
Contoh dari pelaksanaan Pasal 344 KUHP adalah jika dalam sebuah pendakian (ekspedisi), dimana kalau salah seorang anggotanya menderita sakit parah sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan pendakian mencapai puncak gunung, sedangkan ia tidak suka membebani kawan-kawannya dalam mencapai tujuan; di dalam hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.
  1. g.     Penganjuran Agar Bunuh Diri
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau jadi orangnya bunuh diri.[47]
Yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan sengaja menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh diri dan kalau bunuh diri itu benar terjadi.
Jadi seseorang dapat terlibat dalam persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya, apabila  orang lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya untuk bunuh diri; dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang yang digerakkan dan lain sebagainya itu membunuh diri dan mati karenanya.
Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voor-waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.[48]
  1. h.     Pengguguran Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus provocatus” yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan : “membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh Pasal-Pasal 346, 347, 348, dan 349. Jika diamati Pasal-Pasal tersebut maka akan dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus pengguguran kandungan, yaitu ;
  1. janin
  2. ibu yang mengandung
  3. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.[49]
Tujuan Pasal-Pasal tersebut adalah untuk melindungi janin. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai  (1) bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan. Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”. Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua hal tersebut.[50]
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah sebagai berikut :
1)       Pengguguran Kandungan Oleh si Ibu
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.[51]
2)       Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan yang Mengandung
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2)  Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.[52]
  1. 3.        Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun[53]
  1. D.    Sanksi Delik Penganiayaan dan Pemunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prototype dari prilaku menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan pengertian normative atau dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.[54] Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah dengan sanksi pidana.
Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tuuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.[55]
Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen).
1)           Hukuman mati.
2)           Hukuman penjara.
3)           Hukuman kurungan.
4)           Hukuman denda.
5)           Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun 1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946)[56]
b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
(1)         Pencabutan beberapa hak tertentu.
(2)         Perampasan barang-barang tertentu.
(3)         Pengumuman putusan Hakim.
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka kesederhanaanya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang kelihatannya sederhana dalam pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidananya saja. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antar para ahli hukum.
a. Hukuman Pokok.
1. Hukuman mati.
Sejak hukuman pidana berlaku di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie[57], tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum. Dengan suatu putusan yang kemudian harus dilaksanakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang diancam dengan hukuman sama, maka diharapkan hendaknya masyarakat menjadi takut dan jangan sampai melakukan tindak pidana pembunuhan atau kejahatan lainnya yang dapat dihukum mati. Di samping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum dengan menghukum mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan pemerintah. Karena itu hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya.
Di Indonesia, sistem hukumannya masih mempertahankan hukuman mati, hal ini tentu mempunyai pertimbangan tersendiri. Dan walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli hukum tentang hukuman mati itu, tetapi sampai sekarang masih tetap dilaksanakan. Hal ini tidak berarti bahwa di Indonesia ada gejala “homo homini lupus”, melainkan kejahatan terhadap negara perlu diberi pertanggungjawaban yang seimbang.
Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam Pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.[58]
2. Hukuman penjara.
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim. Tempat terhukum yang ada sampai sekarang  merupakan peninggalan penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari kamar-kamar yang satu sama lain tidak dapat berhubungan. Fungsi kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat berkomunikasi dengan terhukum lainnya dan kelihatan seperti orang yang dikucilkan dari pergaulan sosial. Dengan jalan demikian diharapkan terhukum kelak kalau selesai menjalankan hukumannya akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Tetapi tindakan seperti itu tidak bertujuan mendidik secara positif, sebab secara psikologis dapat  menimbulkan kemungkinan-kemungkinan psikis yang berakibat sakit mental, kejahatan besar atau kejahatan kambuhan.
Dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi inilah, yang berarti tidak ada perbaikan tingkah laku, maka pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”. Artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur seperti kewajiban mengikuti bimbingan mental rohani dan ketrampilan.
3. Hukuman kurungan.
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara, hanya perbedaanya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman hukumannnya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa lamanya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan.
4. Hukuman denda.
Pidana denda merupakan kewajiban membayar sejumlah uang, sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan Hakim yang dibebankan kepada terpidana atas pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukannya. Pidana denda ini diancamkan terhadap hampir semua pelanggaran (overtredingen) yang tercantum dalam buku III KUHP dan juga terhadap kejahatan-kejahatan dalam buku II KUHP yang dilakukan dengan tidak sengaja. [59]
Ancaman pidana denda ini oleh pembuat undang-undang hukum pidana tidak ditentukan batas maksimum secara umum, tetapi ditentukan hanya batas minimumnya saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen (dikalikan 15 menurut Undang-undang No. 18/Prp/1960)[60]. Dalam rancangan KUHP yang baru minimum pidana denda ini ditentukan sebesar paling sedikit lima ratus rupiah.[61]
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terhukum, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini dikenal dalam KUHP sesudah tahun 1946 berdasarkan Undang-undang N0. 20 Tahun 1946 (Berita Negara RI Tahun II No. 24 tangga 1 dan 15 November 1946), dan merupakan tambahan pidana pokok pada Pasal 10 KUHP.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 1946 tersebut menyatakan bahwa: “Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka Hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan (fertungshaft).” Pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan apabila Hakim berpendapat perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian rupa, sehingga terhadap perbuatan ebih tepat bila dijatuhi dengan pidana penjara (Pasal 2 ayat (2)). Pelaksanaan pidana tutupan dan segaa sesuatunya yang perlu untuk menjalankan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 itu diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang diundangkan pada tanggal 5 Mei 1948 yang dinamakan dengan Peraturan Pemerintah tentang Pidana Tutupan.[62]
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang dimaksud rumah tutupan itu bukan suatu penjara biasa, dan suatu tempat yang lebih baik daripada penjara biasa sesuai dengan oang yang dijatuhi pidana tutupan bukan orang atau terdakwa biasa, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan kejahatan biasa melainkan pada umumnya para pelaku kejahatan politik.[63]
  1. Hukuman Tambahan.
Menurut aturan umum kodifikasi hukum pidana tambahan ini dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sesuai dengan kata “tambahan” yang diletakkan di belakang kata pidana, maka pidana tambahan itu hanya dapat ditetapkan di samping pidana utama atau pidana pokok. Apabila Hakim tidak dapat menetpkan suatu pidana pokok dengan sendirinya tidak dapat pula menetapkan pidana tambahan. Penjatuhan pidana tambahan ini pada dasarnya bersifal fakultatif, dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang, tetapi tidaklah merupakan suatu keharusan.
Tujuan diadakannya pidana tambahan adalah preventif khusus. Sifat preventif khusus ini kadang-kadang begitu besarnya, sehingga sifatnya sebagai pidana lalu hilang sebagaimana ternyata dalam hal penyertaan yang kadang-kadang dalam UU tidak merupakan tambahan lagi, melainkan suatu tindakan tambahan.
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan Hakim ditetapkan hukuman tambahannya.
Misalnya, seorang warganegara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu oleh Hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjara dan dicabut hak pilihnya dalam Pemilihan Umum yang akan datang.
  1. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Pidana tambahan pencabutan hak oleh Undang-undang Hukum Pidana ditegaskan bahwa pencabutan tersebut hanya terhadap beberapa hak tertentu saja. Jika diartikan dicabut semua hak itu berarti kehilangan kesempatan hidup. Pencabutan semua hak itu bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan : “Tiada hukuman yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan semua hak-hak sipil (beenerlei straf den burgerlijken dood of het verlies van alle burgerlijke regten ten gevolve).[64]
Pencabutan hak-hak tertentu itu tidak dengan sendirinya karena penjatuhan pidana pokok, melainkan harus dengan suatu putusan Hakim dan tidak untuk selama-lamanya.
Hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP
Sedangkan untuk lamanya pencabutan adalah sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHP.
  1. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Pidana tambahan terhadap perampasan barang-barang tertentu termasuk barang milik terpidana. Perampasan milik terpidana merupakan pengurangan harta kekayaan terpidana, karena meskipum perampasan tersebut hanya terhadap barang-barang tertentu milik terpidana, namun dengan dirampasnya barang-barang tertentu itu berarti harta kekayaan terpidana menjadi berkurang.
Di antara pidana-pidana tambahan, jenis pidana tambahan perampasan barang inilah yang paling banyak atau paling sering dijatuhkan oleh Pengadilan, karena sifatnya sebagai tindakan prevensi, atau imperative, atau fakultatif.
  1. Pengumuman Keputusan Hakim
Sesuai dengan sifat kejahatan atau keadaan yang menjadi obyek kejahatan terpidana dapat dikenai tambahan pengumuman putusan Hakim. Pidana tambahan tentang pengumuman keputusan Hakim ini di Indonesia jarang sekali dijalankan karena ketentuan bahwa keputusan Hakim Pengadilan dinyatakan dengan pintu terbuka untuk umum, dan diucapkan oleh Ketua di muka anggota-anggota yang turut memeriksa dan memutuskan perkara itu serta Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri dan Penasihat.
Maksud diadakannya “Pengumuman Keputusan Hakim” dalam bab tentang pidana tambahan ini adalah publikasi ekstra, misalnya di dalam surat kabar, dibuat plakat yang ditempelkan pada dinding gedung pemerintahan, gedung bioskop, dan gedung lain yang biasanya dikunjungi oleh umum, pengumuman melalui siaran radio, televisi dan lain sebagainya. Biaya untuk publikasi ekstra ini dibebankan kepada terpidana yang ditentukan pembayarannya.[65]
1.   Sanksi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Sanksi atau ancaman pidana yang dimuat pada KUHP merupakan sanksi sejak tahun 1915. Adapun penerapan sanksi terhadap delik penganiayaan yang termuat dalam KUHP, yaitu yang tercantum dalam Pasal 351-358 adalah sebagai berikut :
  1. Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP, apabila tidak mengakibatkan luka berat dan korban tidak mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, apabila korban luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, sedangkan apabila meyebabkan korban mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
  2. Penganiayaan ringan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
  3. Penganiayaan berencana yang tidak mengakibatkan luka berat atau mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, apabila mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
  4.  Penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
  5.  Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibtkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanyalimabelas tahun.
  6. Turut dalam perkelahian, apabila mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan dan apabila mengakibatakan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Khusus bagi tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati, tidak dapat dihindarkan untuk tidak mendakwakan Pasal 338 KUHP bahkan Pasal 340 KUHP karena permasalahan adalah pada unsure “dolus” atau “bentuk kesengajaan” terutama dengan bentuk “dolus eventualis“.
Apabila dibuat sebuah daftar mengenai jenis penganiayaan, pasal-pasal yang terkait, akibat yang ditimbulkan, serta besarnya sanksi, maka akan diperoleh hasil sebagai berikut :
NoJenis PenganiayaanPasalAkibatSanksi
1Penganiayaan biasa351- tidak luka berat dan tidak mati
- luka berat
- kematian
- 2 tahun
8 bulan
- 5 tahun
- 7 tahun
2Penganiayaan ringan352- tidak menjadikan sakit…- 3 bulan
3Penganiayaan berencana353- tidak luka berat / mati
- luka berat
- kematian
- 4 tahun
- 7 tahun
- 9 tahun
4Penganiayaan berat354- luka berat
- kematian
- 8 tahun
- 10 tahun
5Penganiayaan berat dan berencana355- luka berat
- kematian
- 12 tahun
- 15 tahun
6Turut perkelahian358- luka berat
- kematian
- 2 tahun
8 bulan
- 4 tahun
  1. 2.      Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut :
  1. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanyalimabelas tahun
  2. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
  3. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
  4. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun
  5. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
  6. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
  7. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
  8. Pengguguran kandungan
    1. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
    2. Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-       dua belas tahun
-      limabelas tahun, jika perempuan itu mati
  1. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-      limatahun enam bulan
-       tujuh tahun, jika perempuan itu mati
Apabila ketentuan di atas juga dibuat sebuah daftar, maka hasilnya adalah sebagai berikut :
NoJenis PembunuhanPasalAkibatSanksi
1Pembunuhan biasa338kematian- 15 tahun
2Pembunuhan dengan pemberatan339kematian- seumur hidup atau  20 tahun
3Pembunuhan berencana340kematian- hukuman mati
atau seumur hidup atau 20 tahun
4Pembunuhan bayi oleh
Ibunya
341kematian- 7 tahun
5Pembunuhan bayi oleh
Ibunya secara berencana
342kematian- 9 tahun
6Pembunuhan atas
Permintaan sendiri
344kematian- 12 tahun
7Penganjuran agar bunuh
Diri
345kematian- 4 tahun
8Pengguguran kandungan :
- oleh si Ibu
- oleh orang lain tanpa izin
perempuan yang
mengandung
- oleh orang lain dengan
izin perempuan yang
mengandung
346
347
348
-Kematian bayi
-Kematian bayi
-Kematian ibu
-Kematian bayi
-Kematian ibu
- 4 tahun
- 12 tahun
- 15 tahun
- 5 tahun 6 bulan
- 7 tahun
Adapun alasan-alasan yang menghilangkan sifat tindak pidana dibedakan dalam dua kategori, yaitu :
a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah :
1)     Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
2)     Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
3)     Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b.  Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam :
1)     Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing)
2)     Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana
3)     Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
4)     Pasal 51 ayat 2 KUHP,  menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa.
[1]  Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 144.
[2] Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta: Grafika, 1991), hlm. 4.
[3] Ibid.
[4] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hm. 4.
[5] Ibid., hlm. 65.
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
[7] Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana  (Jakarta: Fasco, 1955), hlm. 174.
[8] Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana , (Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
[9] Ibid.
[10] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm.169.
[11] P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1 (Bandung:  Bina Cipta, 1986), hlm. 1.
[12]Ibid.
[13] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
[14] Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
[15] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 52.
[16] Ibid., hlm. 53.
[17] Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
[18] Ibid., hlm. 150.
[19] Ibid., hlm. 150-151.
[20] Leden Marpaung, Tindak Pidana, hlm. 31.
[21] Ibid.
[22] Ibid,. hlm. 56.
[23]  Moeljatno, KUHP., hlm. 151.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 152.
[26] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 62.
[27]P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 17.
[28]Moeljatno, KUHP, hlm. 147.
[29]Ibid.
[30]P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 30-31.
[31]Ibid., hlm. 31.
[32]Ibid., hlm. 35.
[33]M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 122.
[34]Moeljatno, KUHP., hlm.147.
[35]Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 30.
[36] P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 37.
[37] Ibid., hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm.9.
[38]Moeljatno, KUHP., hlm. 147.
[39] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.31.
[40] Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955)
[41] Chidir Ali, Responsi., hlm. 74.
[42] P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 44.
[43] Moeljatno, KUHP., hlm.147.
[44]Chidir Ali, Respons., hlm. 76.
[45] Moeljatno, KUHP., hlm.147-148.
[46]  Ibid
[47] Ibid.
[48] Chidir Ali, Responsi., hlm. 76.
[49] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.46.
[50] Ibid., hlm.47.
[51] Molejatno, KUHP., hlm. 148.
[52] Ibid.
[53] Ibid., hlm. 149.
[54]Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 35.
[55]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Pradya Paramita, 1989), hlm. 16.
[56] Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jilid I (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 236-238.
[57] Pada zaman pendudukan Jepang aturan hukum pidana yang berlaku sebelumnya dinyatakan tetap berlaku, berarti seluruh ketentuan hukum yang tertera di dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie tetap berlaku saat itu. Dan setelah Indonesia merdeka juga tetap berlaku aturan hukum pidana Belanda itu –berdasarkan Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945- ; tetapi pada tahun 1946 melalui UU No. 1 Tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie setelah mengalami perubahan seperlunya menjadiWetboek van Strafrecht Voor Indonesie dinyatakan berlaku, setelah Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI lagi, maka melalui UU No. 1 Tahun 1958 yang berlaku sejak tanggal 29 September 1958 menyatakan  berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI dan mengubah KUHP.
[58] Moeljatno, KUHP., hlm. 6.
[59] Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 95.
[60]Lihat  Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-346.
[61] Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana.,hlm. 95.
[62]Ibid., hlm. 98.
[63]Ibid., hlm. 99.
[64]Ibid., hlm. 100-101.
[65]Ibid., hlm. 106-107.