Jumat, 14 Desember 2012

Delik Penganiayaan dan Pembunuhan


A.   Pengertian Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
  1. 1.      Pengertian Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Sebelum membahas mengenai pengertian penganiayaan, penyusun terlebih dahulu akan mengemukakan apa yang dimaksud dengan delik. Dalam kamus hukum delik diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.[1] Dalam hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang juga menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Dan secara umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit. Prof. Simon mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya[2]. Dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagi perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Utrecht memandang rumusan yang dikemukakan oleh Simon itu merupakan rumusan yang lengkap. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur strafbaar feitmeliputi:
  1. suatu perbuatan
  2. perbuatan itu diarang dan diancam dengan hukuman
  3. perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan[3]
Oleh karena KUHP bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah yang digunakan pun sama yaitu strafbaar feit. Namun dalam menterjemahkan istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan. Sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah perbuatan pidana meski tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit. Sedangkan Utrecht menyalin istiah strafbaar feitmenjadi peristiwa pidana, di mana beliau menterjemahkan secara harfiah menjadi peristiwa pidana.[4] Meskipun terdapat banyak perbedaan pengistilahan, namun yang jelas semua bersumber pada strafbaar feit. Dan mengenai penggunaan istilah tersebut A.Z.Abidin sependapat bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang banyak digunakan yaitu delik.[5]
Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan”, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : “perlakuan yang sewenang-wenang…”[6].
Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia.
Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut:
Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan …[7]
Kemudian ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.[8]
Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah :
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.[9]
  1. Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan (hal, dsb) membunuh.[10] Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.[11]
Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang.[12]
B.  Klasifikasi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
  1. 1.      Klasifikasi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Penganiayaan yang diatur KUHP terdiri dari :
  1. Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :
    1. Penganiayaan biasa
    2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
    3. Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati
    4. Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP
      1. Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan rincian sebagai berikut :
        1. Mengakibatkan luka berat
        2. Mengakibatkan orangnya mati
        3. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
          1. Mengakibatkan luka berat
          2. Mengakibatkan orangnya mati
          3. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP dengan rincian sebagai berikut :
            1. Penganiayaan berat dan berencana
            2. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya mati.[13]
Selain daripada itu, diatur pula pada Bab XX (penganiayaan) oleh Pasal 358 KUHP, orang-orang yang turut pada perkelahian/penyerbuan/penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170 KUHP sebab perkelahian pada umumnya adalah  penggunaan kekerasan di muka umum.
  1. a.      Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP
Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut :
(1)   Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
(2)   Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanyalimatahun.
(3)   Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4)   Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
(5)   Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum. [14]
Yang termasuk Pasal 351 ayat (1), bukan penganiayaan ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang.
Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan Pasal 352 KUHP, sehingga dalam penerapannya timbul kerumitan, terutama karena pelanggaran terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak pidana ringan), yang berdasarkan KUHAP (Pasal 205(1)), langsung diajukan penyidik ke Pengadilan Negeri, dengan demikian tidak melibatkan Penuntut Umum.[15]
Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga) jenis penganiayaan biasa, yaitu :
  1. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang,
  2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat,
  3. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.
Terhadap penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit atau rumit, tetapi pada prakteknya kadang-kadang sulit membedakan dengan Pasal 351 ayat (2), misalnya :
A dianiaya oleh B yang mengakibatkan luka berat, tetapi karena dalam waktu yang tidak begitu lama, ada yang mengangkut ke rumah sakit sehingga dapat diselamatkan jiwanya, dengan,
N dianiaya oleh M, yang mengakibatkan luka berat, tetapi karena tidak ada yang menolong, ia kehabisan darah, lalu meninggal.
Mengenai pengertian “luka berat” Pasal 90 KUHP merumuskan artinya. “Luka berat” pada rumusan asli disebut “zwaar lichamelijk letsel” yang diterjemahkan dengan “luka badan berat” yang selalu disingkat dengan luka berat. Sebagian pakar menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada luka karena pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk menyatakan ukuran.[16]
Pada Pasal 90 KUHP “luka berat” diartikan sebagai berikut ;
Luka berat berarti:
1)     jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan   sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2)     tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
3)     kehilangan salah satu pancaindra;
4)     mendapat cacat berat (verminking);
5)     menderita sakit lumpuh;
6)     terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7)     gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.[17]
  1. b.     Penganiayaan ringan
Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1)   Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2)   Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.[18] 

  1. c.     Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu
Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
1        Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
2        Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
3        Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[19]
Unsur “dengan rencana terlebih dahulu” menurut M.v.T.pembentukan Pasal 340 diutarakan sebagai berikut :
Diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berfikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan , sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya. [20]
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan arti “direncanakan lebih dahulu” sebagai: “Bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”[21]
Sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 717 K/Pid/1984 tanggal 20 September 1985 mengutarakan pendapat, antara lain sebagai berikut:
Tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat perencanaaan itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta alat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan itu.[22]
  1. d.     Penganiayaan Berat
Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.[23]
  1. e.     Penganiayaan Berat Dan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP yang berbunyi ;
(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya limabelas tahun.[24]
  1. C.    Turut Perkelahian/Penyerbuan
Hal ini diatur oleh Pasal 358 KUHP yang bunyinya sebagai berikut ;
Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain dari tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang dilakukannya, ia dihukum:
1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat luka berat;
2e.  dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun jika penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya orang.[25]
Rumusan Pasal 358 KUHP tersebut memuat 2 (dua) akibat yakni, luka berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat tersebut maka perbuatan itu, tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 358 KUHP.
Selain itu, perlu diamati rumusan “….selain daripada tanggungannya masing-masing bagi perbuatannya”, rumusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 358 KUHP tersebut, semata-mata diperlakukan karena keikutsertaan saja, sedang jika ia melakukan perbuatan maka hal tersebut tetap dipertanggungjawabkan padanya. Misalnya: A, B, C, dan D melakukan penyerangan terhadap R dan P di mana D hanya ikut saja, tanpa berbuat sesuatu. Dalam hal ini D dapat dipersalahkan melanggar Pasal 358 KUHP.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Pasal 358 KUHP adalah :
  1. Si peserta dengan sengaja ikut dalam penyerangan/perkelahian;
  2. Penyerangan/perkelahian, dilakukan lebih dari 2 (dua) orang;
  3. Mengakibatkan luka parah atau mati.[26]
  4. 2.      Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.
Kejahatan terhadap nyawa orang lain terbagi atas beberapa jenis, yaitu :
  1. a.      Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.[27]
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah : “barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun”.[28] Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. [29]
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
  1. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja
  2. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.[30]
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu : “menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.[31]
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun  pembunuhan itu dilakukan  terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.[32]
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung jawabkan.[33]
  1. b.     Pembunuhan Dengan Pemberatan
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[34]
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan”.
Kata “diikuti” dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.
Misalnya :
A hendak membunuh B; tetapi karena B dikawal oleh P maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian membunuh B.
Kata “disertai” dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.
Misalnya :
C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh penjaganya.
Kata “didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan.
Misalnya :
D melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan barang yang dirampok tersebut, maka D menembak polisi yang mengejarnya.[35]
Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut :
  1. Unsur subyektif : 1) dengan sengaja
2) dengan maksud
  1. Unsur obyektif : 1)  menghilangkan nyawa orang lain
2)  diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana   lain
3) untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang akan, sedang atau telah dilakukan
4)     untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan
5)     untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan tindak pidana.[36]
Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal 339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaran-pelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).[37]
Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan hukuman.
  1. c.      Pembunuhan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.[38]
Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T. pembentukan Pasal 340 diutarakan, antara lain :
“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.[39]
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu” antara lain sebagai : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”[40]
Sedangkan Chidir Ali, menyebutkan:
Yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu, adalah suatu saat untuk menimbang-nimbang dengan tenang, untuk memikirkan dengan tenang. Selanjutnya juga bersalah melakukan perbuatannya dengan hati tenang.[41]
Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana adalah sebagai berikut :
  1. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu
  2. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.[42]
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
  1. d.     Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.[43]
Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang ibu dengan sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan anaknya atau tidak berapa lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan unsur yang penting dalam rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran anaknya.[44]
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan  tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338 KUHP.
  1. e.      Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.[45]
Pasal 342 KUHP  dengan Pasal 341 KUHP  bedanya adalah bahwa Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut telah mempersiapkan alat-alatnya.
  1. f.        Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.[46]
Pasal 344 ini membicarakan mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja, maka dalam hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena belum memenuhi perumusan dari Pasal 344, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal 338 (pembunuhan biasa).
Contoh dari pelaksanaan Pasal 344 KUHP adalah jika dalam sebuah pendakian (ekspedisi), dimana kalau salah seorang anggotanya menderita sakit parah sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan pendakian mencapai puncak gunung, sedangkan ia tidak suka membebani kawan-kawannya dalam mencapai tujuan; di dalam hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.
  1. g.     Penganjuran Agar Bunuh Diri
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau jadi orangnya bunuh diri.[47]
Yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan sengaja menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh diri dan kalau bunuh diri itu benar terjadi.
Jadi seseorang dapat terlibat dalam persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya, apabila  orang lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya untuk bunuh diri; dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang yang digerakkan dan lain sebagainya itu membunuh diri dan mati karenanya.
Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voor-waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.[48]
  1. h.     Pengguguran Kandungan
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus provocatus” yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan : “membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh Pasal-Pasal 346, 347, 348, dan 349. Jika diamati Pasal-Pasal tersebut maka akan dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus pengguguran kandungan, yaitu ;
  1. janin
  2. ibu yang mengandung
  3. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.[49]
Tujuan Pasal-Pasal tersebut adalah untuk melindungi janin. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai  (1) bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan. Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”. Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua hal tersebut.[50]
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah sebagai berikut :
1)       Pengguguran Kandungan Oleh si Ibu
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.[51]
2)       Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin Perempuan yang Mengandung
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2)  Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.[52]
  1. 3.        Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun[53]
  1. D.    Sanksi Delik Penganiayaan dan Pemunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prototype dari prilaku menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang dari aturan-aturan pengertian normative atau dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.[54] Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah dengan sanksi pidana.
Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tuuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.[55]
Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen).
1)           Hukuman mati.
2)           Hukuman penjara.
3)           Hukuman kurungan.
4)           Hukuman denda.
5)           Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun 1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946)[56]
b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
(1)         Pencabutan beberapa hak tertentu.
(2)         Perampasan barang-barang tertentu.
(3)         Pengumuman putusan Hakim.
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka kesederhanaanya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang kelihatannya sederhana dalam pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidananya saja. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antar para ahli hukum.
a. Hukuman Pokok.
1. Hukuman mati.
Sejak hukuman pidana berlaku di Indonesia yang kemudian dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie[57], tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum. Dengan suatu putusan yang kemudian harus dilaksanakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang diancam dengan hukuman sama, maka diharapkan hendaknya masyarakat menjadi takut dan jangan sampai melakukan tindak pidana pembunuhan atau kejahatan lainnya yang dapat dihukum mati. Di samping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum dengan menghukum mati seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan pemerintah. Karena itu hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya.
Di Indonesia, sistem hukumannya masih mempertahankan hukuman mati, hal ini tentu mempunyai pertimbangan tersendiri. Dan walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli hukum tentang hukuman mati itu, tetapi sampai sekarang masih tetap dilaksanakan. Hal ini tidak berarti bahwa di Indonesia ada gejala “homo homini lupus”, melainkan kejahatan terhadap negara perlu diberi pertanggungjawaban yang seimbang.
Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam Pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.[58]
2. Hukuman penjara.
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim. Tempat terhukum yang ada sampai sekarang  merupakan peninggalan penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari kamar-kamar yang satu sama lain tidak dapat berhubungan. Fungsi kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat berkomunikasi dengan terhukum lainnya dan kelihatan seperti orang yang dikucilkan dari pergaulan sosial. Dengan jalan demikian diharapkan terhukum kelak kalau selesai menjalankan hukumannya akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Tetapi tindakan seperti itu tidak bertujuan mendidik secara positif, sebab secara psikologis dapat  menimbulkan kemungkinan-kemungkinan psikis yang berakibat sakit mental, kejahatan besar atau kejahatan kambuhan.
Dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi inilah, yang berarti tidak ada perbaikan tingkah laku, maka pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”. Artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur seperti kewajiban mengikuti bimbingan mental rohani dan ketrampilan.
3. Hukuman kurungan.
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara, hanya perbedaanya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman hukumannnya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa lamanya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun empat bulan.
4. Hukuman denda.
Pidana denda merupakan kewajiban membayar sejumlah uang, sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan Hakim yang dibebankan kepada terpidana atas pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukannya. Pidana denda ini diancamkan terhadap hampir semua pelanggaran (overtredingen) yang tercantum dalam buku III KUHP dan juga terhadap kejahatan-kejahatan dalam buku II KUHP yang dilakukan dengan tidak sengaja. [59]
Ancaman pidana denda ini oleh pembuat undang-undang hukum pidana tidak ditentukan batas maksimum secara umum, tetapi ditentukan hanya batas minimumnya saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen (dikalikan 15 menurut Undang-undang No. 18/Prp/1960)[60]. Dalam rancangan KUHP yang baru minimum pidana denda ini ditentukan sebesar paling sedikit lima ratus rupiah.[61]
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terhukum, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini dikenal dalam KUHP sesudah tahun 1946 berdasarkan Undang-undang N0. 20 Tahun 1946 (Berita Negara RI Tahun II No. 24 tangga 1 dan 15 November 1946), dan merupakan tambahan pidana pokok pada Pasal 10 KUHP.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 1946 tersebut menyatakan bahwa: “Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka Hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan (fertungshaft).” Pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan apabila Hakim berpendapat perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian rupa, sehingga terhadap perbuatan ebih tepat bila dijatuhi dengan pidana penjara (Pasal 2 ayat (2)). Pelaksanaan pidana tutupan dan segaa sesuatunya yang perlu untuk menjalankan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 itu diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang diundangkan pada tanggal 5 Mei 1948 yang dinamakan dengan Peraturan Pemerintah tentang Pidana Tutupan.[62]
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang dimaksud rumah tutupan itu bukan suatu penjara biasa, dan suatu tempat yang lebih baik daripada penjara biasa sesuai dengan oang yang dijatuhi pidana tutupan bukan orang atau terdakwa biasa, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan kejahatan biasa melainkan pada umumnya para pelaku kejahatan politik.[63]
  1. Hukuman Tambahan.
Menurut aturan umum kodifikasi hukum pidana tambahan ini dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sesuai dengan kata “tambahan” yang diletakkan di belakang kata pidana, maka pidana tambahan itu hanya dapat ditetapkan di samping pidana utama atau pidana pokok. Apabila Hakim tidak dapat menetpkan suatu pidana pokok dengan sendirinya tidak dapat pula menetapkan pidana tambahan. Penjatuhan pidana tambahan ini pada dasarnya bersifal fakultatif, dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang, tetapi tidaklah merupakan suatu keharusan.
Tujuan diadakannya pidana tambahan adalah preventif khusus. Sifat preventif khusus ini kadang-kadang begitu besarnya, sehingga sifatnya sebagai pidana lalu hilang sebagaimana ternyata dalam hal penyertaan yang kadang-kadang dalam UU tidak merupakan tambahan lagi, melainkan suatu tindakan tambahan.
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman pokok kalau dalam putusan Hakim ditetapkan hukuman tambahannya.
Misalnya, seorang warganegara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu oleh Hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjara dan dicabut hak pilihnya dalam Pemilihan Umum yang akan datang.
  1. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Pidana tambahan pencabutan hak oleh Undang-undang Hukum Pidana ditegaskan bahwa pencabutan tersebut hanya terhadap beberapa hak tertentu saja. Jika diartikan dicabut semua hak itu berarti kehilangan kesempatan hidup. Pencabutan semua hak itu bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan : “Tiada hukuman yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan semua hak-hak sipil (beenerlei straf den burgerlijken dood of het verlies van alle burgerlijke regten ten gevolve).[64]
Pencabutan hak-hak tertentu itu tidak dengan sendirinya karena penjatuhan pidana pokok, melainkan harus dengan suatu putusan Hakim dan tidak untuk selama-lamanya.
Hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP
Sedangkan untuk lamanya pencabutan adalah sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHP.
  1. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Pidana tambahan terhadap perampasan barang-barang tertentu termasuk barang milik terpidana. Perampasan milik terpidana merupakan pengurangan harta kekayaan terpidana, karena meskipum perampasan tersebut hanya terhadap barang-barang tertentu milik terpidana, namun dengan dirampasnya barang-barang tertentu itu berarti harta kekayaan terpidana menjadi berkurang.
Di antara pidana-pidana tambahan, jenis pidana tambahan perampasan barang inilah yang paling banyak atau paling sering dijatuhkan oleh Pengadilan, karena sifatnya sebagai tindakan prevensi, atau imperative, atau fakultatif.
  1. Pengumuman Keputusan Hakim
Sesuai dengan sifat kejahatan atau keadaan yang menjadi obyek kejahatan terpidana dapat dikenai tambahan pengumuman putusan Hakim. Pidana tambahan tentang pengumuman keputusan Hakim ini di Indonesia jarang sekali dijalankan karena ketentuan bahwa keputusan Hakim Pengadilan dinyatakan dengan pintu terbuka untuk umum, dan diucapkan oleh Ketua di muka anggota-anggota yang turut memeriksa dan memutuskan perkara itu serta Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri dan Penasihat.
Maksud diadakannya “Pengumuman Keputusan Hakim” dalam bab tentang pidana tambahan ini adalah publikasi ekstra, misalnya di dalam surat kabar, dibuat plakat yang ditempelkan pada dinding gedung pemerintahan, gedung bioskop, dan gedung lain yang biasanya dikunjungi oleh umum, pengumuman melalui siaran radio, televisi dan lain sebagainya. Biaya untuk publikasi ekstra ini dibebankan kepada terpidana yang ditentukan pembayarannya.[65]
1.   Sanksi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif
Sanksi atau ancaman pidana yang dimuat pada KUHP merupakan sanksi sejak tahun 1915. Adapun penerapan sanksi terhadap delik penganiayaan yang termuat dalam KUHP, yaitu yang tercantum dalam Pasal 351-358 adalah sebagai berikut :
  1. Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP, apabila tidak mengakibatkan luka berat dan korban tidak mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, apabila korban luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, sedangkan apabila meyebabkan korban mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
  2. Penganiayaan ringan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
  3. Penganiayaan berencana yang tidak mengakibatkan luka berat atau mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, apabila mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
  4.  Penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
  5.  Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibtkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanyalimabelas tahun.
  6. Turut dalam perkelahian, apabila mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan dan apabila mengakibatakan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Khusus bagi tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati, tidak dapat dihindarkan untuk tidak mendakwakan Pasal 338 KUHP bahkan Pasal 340 KUHP karena permasalahan adalah pada unsure “dolus” atau “bentuk kesengajaan” terutama dengan bentuk “dolus eventualis“.
Apabila dibuat sebuah daftar mengenai jenis penganiayaan, pasal-pasal yang terkait, akibat yang ditimbulkan, serta besarnya sanksi, maka akan diperoleh hasil sebagai berikut :
NoJenis PenganiayaanPasalAkibatSanksi
1Penganiayaan biasa351- tidak luka berat dan tidak mati
- luka berat
- kematian
- 2 tahun
8 bulan
- 5 tahun
- 7 tahun
2Penganiayaan ringan352- tidak menjadikan sakit…- 3 bulan
3Penganiayaan berencana353- tidak luka berat / mati
- luka berat
- kematian
- 4 tahun
- 7 tahun
- 9 tahun
4Penganiayaan berat354- luka berat
- kematian
- 8 tahun
- 10 tahun
5Penganiayaan berat dan berencana355- luka berat
- kematian
- 12 tahun
- 15 tahun
6Turut perkelahian358- luka berat
- kematian
- 2 tahun
8 bulan
- 4 tahun
  1. 2.      Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX buku II adalah sebagai berikut :
  1. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanyalimabelas tahun
  2. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
  3. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
  4. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun
  5. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
  6. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
  7. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
  8. Pengguguran kandungan
    1. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun
    2. Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-       dua belas tahun
-      limabelas tahun, jika perempuan itu mati
  1. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
-      limatahun enam bulan
-       tujuh tahun, jika perempuan itu mati
Apabila ketentuan di atas juga dibuat sebuah daftar, maka hasilnya adalah sebagai berikut :
NoJenis PembunuhanPasalAkibatSanksi
1Pembunuhan biasa338kematian- 15 tahun
2Pembunuhan dengan pemberatan339kematian- seumur hidup atau  20 tahun
3Pembunuhan berencana340kematian- hukuman mati
atau seumur hidup atau 20 tahun
4Pembunuhan bayi oleh
Ibunya
341kematian- 7 tahun
5Pembunuhan bayi oleh
Ibunya secara berencana
342kematian- 9 tahun
6Pembunuhan atas
Permintaan sendiri
344kematian- 12 tahun
7Penganjuran agar bunuh
Diri
345kematian- 4 tahun
8Pengguguran kandungan :
- oleh si Ibu
- oleh orang lain tanpa izin
perempuan yang
mengandung
- oleh orang lain dengan
izin perempuan yang
mengandung
346
347
348
-Kematian bayi
-Kematian bayi
-Kematian ibu
-Kematian bayi
-Kematian ibu
- 4 tahun
- 12 tahun
- 15 tahun
- 5 tahun 6 bulan
- 7 tahun
Adapun alasan-alasan yang menghilangkan sifat tindak pidana dibedakan dalam dua kategori, yaitu :
a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana, adalah :
1)     Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
2)     Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
3)     Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b.  Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam :
1)     Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing)
2)     Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana
3)     Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
4)     Pasal 51 ayat 2 KUHP,  menyatakan terhapusnya pidana karena perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap nyawa.
[1]  Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 144.
[2] Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta: Grafika, 1991), hlm. 4.
[3] Ibid.
[4] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hm. 4.
[5] Ibid., hlm. 65.
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
[7] Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana  (Jakarta: Fasco, 1955), hlm. 174.
[8] Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana , (Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
[9] Ibid.
[10] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm.169.
[11] P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1 (Bandung:  Bina Cipta, 1986), hlm. 1.
[12]Ibid.
[13] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
[14] Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
[15] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 52.
[16] Ibid., hlm. 53.
[17] Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
[18] Ibid., hlm. 150.
[19] Ibid., hlm. 150-151.
[20] Leden Marpaung, Tindak Pidana, hlm. 31.
[21] Ibid.
[22] Ibid,. hlm. 56.
[23]  Moeljatno, KUHP., hlm. 151.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 152.
[26] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 62.
[27]P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 17.
[28]Moeljatno, KUHP, hlm. 147.
[29]Ibid.
[30]P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 30-31.
[31]Ibid., hlm. 31.
[32]Ibid., hlm. 35.
[33]M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 122.
[34]Moeljatno, KUHP., hlm.147.
[35]Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 30.
[36] P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 37.
[37] Ibid., hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm.9.
[38]Moeljatno, KUHP., hlm. 147.
[39] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.31.
[40] Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955)
[41] Chidir Ali, Responsi., hlm. 74.
[42] P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 44.
[43] Moeljatno, KUHP., hlm.147.
[44]Chidir Ali, Respons., hlm. 76.
[45] Moeljatno, KUHP., hlm.147-148.
[46]  Ibid
[47] Ibid.
[48] Chidir Ali, Responsi., hlm. 76.
[49] Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.46.
[50] Ibid., hlm.47.
[51] Molejatno, KUHP., hlm. 148.
[52] Ibid.
[53] Ibid., hlm. 149.
[54]Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 35.
[55]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Pradya Paramita, 1989), hlm. 16.
[56] Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jilid I (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 236-238.
[57] Pada zaman pendudukan Jepang aturan hukum pidana yang berlaku sebelumnya dinyatakan tetap berlaku, berarti seluruh ketentuan hukum yang tertera di dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie tetap berlaku saat itu. Dan setelah Indonesia merdeka juga tetap berlaku aturan hukum pidana Belanda itu –berdasarkan Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945- ; tetapi pada tahun 1946 melalui UU No. 1 Tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie setelah mengalami perubahan seperlunya menjadiWetboek van Strafrecht Voor Indonesie dinyatakan berlaku, setelah Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI lagi, maka melalui UU No. 1 Tahun 1958 yang berlaku sejak tanggal 29 September 1958 menyatakan  berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI dan mengubah KUHP.
[58] Moeljatno, KUHP., hlm. 6.
[59] Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum Pidana Kodifikasi(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 95.
[60]Lihat  Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-346.
[61] Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana.,hlm. 95.
[62]Ibid., hlm. 98.
[63]Ibid., hlm. 99.
[64]Ibid., hlm. 100-101.
[65]Ibid., hlm. 106-107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar