Selasa, 04 Desember 2012


ILMU MUNASABAH

I.        Mukadimah
        Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluargana, shahabatnya, dan semua pengikutnya hingga akhir zaman. Diantara bukti kemukjijatan Nabi Muhammad SAW, adalah diberikannya kitab suci al-Qur’an. Dalam al-Qur’an itu sendiri terdapat tanda-tanda kebesaran Sang Pemberi, yaitu dengan gaya bahasa dan susunan yang begitu indah, di antara susunan al-Qur’an ada keserasian antara ayat yang satu dengan yang lai, adanya hubungan saling melengkapi. Hubungan inilah yang dinamakan Ilmu Munasabah yang Insya Allah akan kami bahas pada masalah ini.
II.      Pembahasan
2.1.       Pengertian
            Kata Munasabah  secara etimologi, menurut asy-Syuthi berarti al-Musyakalah (keserupaan) dan muqarabah (kedekata). Adapun menurut pengertian terminilogy, Munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut.
1.                 Menurut az-zarkasyi, Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2.             Menurut Manna’ Alqaththan, Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surah di dalam al-Qur’an.
3.             Menurut Ibnu al-‘Arabi, Munasabah keterikantan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyaisatu kesetuan makna dan keteraturan redaksi.[1]
4. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian –bagian Al-quran, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.
Jadi, dalam konteks ‘Ulum Al-quran, munasabah berarti menjelaskan korelaksi antar ayat atau antar surat, baik kolerasi itu bersifat umum maupun khusus : rasional (‘aqli), persepsi (hassiy) atau imajinatif (hayal) : atau korelasi atau berupa sebab akibat ,’llat dan Ma’lul, perbandingan dan perlawanan.[4]
Dari beberapa pengertian diatas dapat kami simpulkan bahwa munasabah al-quran adalah kemiripan kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya.
2.2.     Manfaat Ilmu Munasabah
            Pengetahuan antara Munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antara makna, kejelasan, keterangan, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasa.
Az-Zarkasyi menyebutkan: “Manfaatnya adalah menjadikan sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian lainnya, sehingga hubungan menjadi kuat, bentuk susunannya menjadi kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh.”  Qadi Abu Bakar Ibnul al-‘Arabi menjelaskan: “Mengetahui sejauhmana hubungan antara ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu besar.”[2]
            Neraca yang dipegang dalam menerangkan macam-macam Munasabah antara ayat-ayat dan surat-surat, kembali kepada derajat tamatsul, atau tasyabuh antara maudhu’-maudhu’-nya. Maka jika munasabah itu terjadi pada urusan-urusan yang bersatu dan berkaitan awal dan akhirnya, maka itulah munasabah yang dapat diterima akal dan dipahami. Tetapi jika munasabah itu dilakukan terhadap ayat-ayat yang berbeda-beda sebabnya dan urusan-urusan yang tidak ada keserasian antara satu dengan yang lainnya, maka tidaklah yang demikian itu dikatakan tanasub (bersesuaian) sama sekali.
            Sangat sulit mencari munasabah antara surah dengan surah, karena jarang sekali sesuatu itu dapat sempurna dengan suatu ayat. Karenanya beriring-iringlah beberapa ayat dalam satu maudhu’ untuk ta’id, tafsir, athaf dan bayan, istisna’, hasr, hingga ayat-ayat yang beriringan-iringan itu nampaklah ayat-ayat yang satu sama lain merupakan sebanding dan bersamaan dalam satu kelompok.[3]
         Hubungan-hubungan dalam Al-Qur’an Tersebut meliputi:
            Para ulama yang menekuni ilmu munasabah Al-Qur’an mengemukakan bahkan membuktikan keserasian yang dimaksud, setidak-tidaknya hubungan itu meliputi:[4]
1.                 Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya didalam surah Al-Fatihah ayat 6 disebutkan:
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ  
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” (Q.S. Al-Fatihah: 6)
            Lalu dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 2, bahwa jalan yang lurus itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 2)
2.             Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok didalam satu surah, misalnya surah An-Nisa’ (perempuan) karena didalamnya banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.
3.             Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya surah al-Mu’minuun dimulai dengan:
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ  
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Q.S. Al-Mu’minuun: 1)
Kemudian diakhiri dengan:
4 ¼çm¯RÎ) Ÿw ßxÎ=øÿムtbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÊÊÐÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 117)
4.             Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah. Misalnya kata “Muttaqin” di dalam surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai cirri-ciri orang-orang yang bertaqwa.
5.              Hubungan antara kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya dalam surah al-Fatihah ayat 1: “ Segala Puji Bagi Allah”, lalu dijelaskan pada kalimat berikutnya: “Tuhan semesta alam”.
6.             Hubungan antara fashilah dengan isi ayat. Misalnya didalam surat al-Ahzab ayat 25 disebutkan:
4 s"x.ur ª!$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# tA$tFÉ)ø9$# ÇËÎÈ  
“dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan “ (Q.S. Al-Ahzab: 25)

4 šc%x.ur ª!$# $ƒÈqs% #YƒÍtã ÇËÎÈ  
“dan adalah Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Ahzab: 25)
7.              Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya penutup surat al-Waqi’ah:
ôxÎm7|¡sù ËLôœ$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ  
”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” (Q.S. Al-Waqi’ah: 96)
Lalu surah berikutnya, yaitu surah al-Hadiid ayat 1:
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ  
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Hadiid: 1)

TINJAUAN HISTORIS
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwwwa ilmu munasabat termasuk kajian yang penting dalam ruang lingkup ‘ulumul al-alqur’an. Dengan demikian, tidak mengherankan jika banyak pakar tafsir di masa lampau mencurah kan perhaatian terhadap kajian ini.
Sebenarnya tidak diketahui secara pasti tanggal mulai lahirnya ilmu tanasub ini,namun dari literatur yang ditemukan,para ahli cendrung berpendapat bahwa kajian jini pertama kali dimunculkan oleh al-imam abu bakr ‘abd allah bin muhammad al-nasyaburi(w.324 H) di kota baghdad sebagaimana diakui oleh syaykh abu al-hasan al-syahrabanni seperti dikutip al-ma’i. Al-Syuyuthi juga berpendapat serupa itu, dan dan satra. Jika pendapat ini diterima itu berarti pembahasan terhadap permasalahan tanasub ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-quran telah mulai menjadi objek studi dikalangan ulama tafsir sejak abad keempat H. Namuyn timbul pertanyaan kenapa baru pada abad keempat itu ulama memperhatikan permasalahan tanasub ini secara serius?, jika diamati perkembangan ilmu keislaman , memang terjadi lonjakan yang amat berarti pad abad-abad satu sampai dengan empat. Setelah abad-abad tersebut perkembangan tidak lagi sepesat seperti abad-abad sebelumnya.
Apabila kajian tanasub ini berkembang pada abad ke 4, itu berarti dalam masa keemasan meskipun masa tiga abad sebelumnya penbahasan mengenai ini belum menonjol, tapi tidak berarti ulam tafsir tidak tahu tentang ini sebab pada permulaan islam datang, nabi telah memberikan isyarat tentang adanya keserasian atau kaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain, dalam al-quran seperti penafsiran Rasul Allah SAW terhadap lafal zhulm dalam ayat 82 dari surat Al-an’am. Pensiran nabi seperti ini jelas tak luput dari pembahasan kitab tafsir bi Al-ma’tsur seperti tafsir Al-tharabi (w.310 H) dalam buku itu dapat disimpulakna bahwa penafsuran terhadap ayat-ayat yang mempunyai tanasub sudah dilakukan oleh nabi, kemudian dilanjutkan oleh sahabat-sahabat dan ulama tafsir berikutnya.



Daftar Pustaka

Ahsin W, Kamus Ilmu Al-Qur’an,  Jakarta: Pustaka Amzah, 2005
Al-Qathan, Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta:  pustaka Islamiyah, 1998
Hasbi, Muhammad, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka rizki Putra, 2002
Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001









[1] Ashim W. al-Hafizh, Kamus Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Amzah, 2005, Cet, I , hal. 197
[2] Manna Khalil al-Qatani,  Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Pustaka Islamiah, Bogor, 1998, Cet, IV, hal. 138
[3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizky Putra, 2002, Cet. II, hal. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar